Sabtu, 15 November 2008

PERKUTUTMU ITU CELINGUKAN


Sering aku berfikir keras untuk mengingat sejak kapan sebenarnya aku mengetahui desaku itu bernama Panumbangan. Memang, sebelum awal hayatku, desa tempat kelahiranku itu sudah bernama demikian. Yang aku ingin ketahui dari diriku, awal sadar nalar terhadap nama tempat kelahiranku itu. Mungkin ketika aku menginjak usia tujuh tahun? Ketika aku mulai masuk sekolah dasar (SD) yang ketika zaman aku dulu institusi sekolah paling bawah disebuat "Sekolah Rakyat" atau disingkat SR? Ataukah sebelumnya aku sudah mulai dapat mengingat nama itu?

Hanya satu peristiwa yang sekarang masih membekas dibenakku sebagai "first moment" dalam upayaku menelusuri surut pikir ke masa lalu. Dulu, pamanku (adik ayahku) tinggal di rumah ku bersama kami. Ia sekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama - sederajat SMP). Tulisannya sangat bagus dan memang pada umumnya orang sekolahan dulu mempunyai tulisan bagus-bagus, karena sejak awal masuk sekolah pun sudah dilatih membuat tulisan indah "tebal tipis". Waktu itu belum ada komputer dan mesin tik pun sangat langka, sehingga tulisan tangan merupakan hal utama dalam surat-menyurat dan naskah tertulis disemua kantoran. Di rumah, pamanku mengecat tempat sampah bersegi empat terbuat dari kayu dengan susunan warna hijau kuning dan biru. Disatu sisinya ditulis kata "TEMPAT SAMPAH" dengan huruf besar dan tebal dengan cat warna kuning, sedang disisi lainnya ditulis "Panumbangan 05-08-1956". Pamanku menyuruh membaca kepadaku yang saat itu masih kecil, tapi aku bisa membacanya walaupun dengan dieja dan lambat. Yang membuat aku teringat terus terhadap tulisan di bak sampah itu karena ada kejadian yang menyertainya.

Sementara paman meninggalkan pekerjaannya untuk mengambil minum kedalam rumah - aku yang dari awal mendampingi paman bekerja - ditinggal diantara kaleng-kaleng cat yang berserakan dan tempat sampah yang belum mengering. Aku membaca sekali lagi tulisan yang tertera di tempat sampah itu. Menurut pikiranku ada yang aneh dari tulisan itu. Mungkin paman salah menulisnya. Tulisan angka "05" dan "08" telah mengganggu jalan pikiranku. Menurut pemahamanku saat itu, penulisan angka dua digit adalah menunjukan puluhan, tapi sebagaimana telah diajarkan Ibuku, tidak ada puluhan yang diawali angka nol. Mungkin pamanku terbalik menulisnya. Seharusnya beliau menulis angka "50" dan "80". Itulah penulisan yang menurut "setting program" dalam otakku benar. Sampai saat itu belum ada orang lagi yang mengupdate program di otakku bahwa tidak ada tanggal kelima puluh atau bulan kedelapan puluh atau penambahan digit angka nol sebelumnya tidak merubah nilai satuan menjadi puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya. Ukuran kebenaranku saat itu berdasarkan program yang telah "terinstall" terlebih dulu dalam otakku. Jelas, paman berbuat kesalahan dalam tulisannya dan harus kuperbaiki, demikianlah alam pikiranku saat itu. Tanpa pikir panjang lagi, aku celupkan kuas sebesar telunjukku ke dalam kaleng cat warna kuning. Aku tulis angka nol setelah angka lima dan delapan menimpali tanda garis penghubung. Tapi ukuran tulisanku tidak sama dengan ukuran tulisan buatan paman. Yang satu setelah angka lima kekecilan dan yang satu lagi setelah angka delapan kebesaran dan kelihatannya tidak rapih seperti buatan paman. Tiba-tiba paman datang. Tentu saja beliau marah berat kepadaku. Pekerjaan yang digarap paman sejak pagi, ketika hampir kering dicoret moret oleh keponakannya. Saking kesalnya, beliau menjewer telingaku keras-keras. Telingaku dipelintir dan kuku ibu jarinya yang panjang dan tajam menancap hingga telingaku terobek. Aku menjerit dan menangis. Merasa niat baikku untuk membetulkan kesalahan tulisan paman dibalas dengan ketidak-adilan, tangan kananku meraih kaleng cat berwarna hijau dan kutumpahkan menyembur tempat sampah hingga menutup semua tulisan hasil pekerjaan paman sejak pagi. Ada kebetulannya, warna background tempat sampah, sama dengan warna cat yang aku semburkan itu. Yah... itung-itung pekerjaan paman yang menurut pemahamanku salah terkena "delete" oleh kemarahanku.

Yang berkaitan dengan pengetahuanku tentang nama tempat kelahiranku, bahwa peristiwa dengan pamanku itu dapat dijadikan "starting moment" awal aku mengetahui Panumbangan adalah Nama Desaku. Setidak-tidaknya dapat menunjukkan bukti tulisan. Saat itu aku bisa mengeja tulisan paman dengan sangat sulit dan terputus-putus. Aku mengeja dengan kata-kata: "pe a en u em = panum, be a en ge = bang dan a en = an, pan... panum...bang.... panumbang... an... " Tanggal yang ditulis paman adalah 5 Agustus 1956. Jika aku dilahirkan pada bulan April 1952, maka saat itu aku berumur empat tahun lebih tiga bulan lima hari. Tapi masalahnya saat itu aku sudah mengenal huruf dan angka serta membaca tulisan walaupun dengan mengeja.

Kita tinggalkan dulu penelusuran terhadap pengetahuan awal aku tentang nama desaku. Aku punya cerita yang lucu ketika aku masih di sekolah pendidikan dasar. Seperti sudah aku katakan, zamanku dulu sekolah dasar disebut sekolah rakyat. Sampai saat ini aku belum tahu alasan dan landasan pemikiran para pengambil keputusan saat itu dengan memberi nama Sekolah Rakyat bagi pendidikan dasar itu. Padahal dengan pemakaian kata "rakyat" akan memberikan kesan "sekolah untuk inlander" zamannya penjajahan Belanda. Sebelum memasuki pendidikan dasar, pada zamanku dulu belum dikenal adanya Taman Kanak-kanak, sehingga aku langsung masuk SR. Kurang lebih tiga atau empat tahun mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat, aku belum mengenal alat tulis kertas, pensil atau pulpen. Yang aku tahu hanya alat tulis "sabak" dan "gerip". Sabak atau batu tulis, berwarna hitam pipih dan persegi empat dengan ukuran bervariasi antara 20 x 30 cm, 30 x 40 cm.

Tiap pergi atau pulang sekolah kami selalu menengteng sabak (sebenarnya rawan untuk pecah) dan membawa kotak kecil berisi gerip serta beberapa puluh potongan lidi dengan ukuran 10 cm (lidi ini digunakan sebagai alat bantu pelajaran berhitung, karena waktu dulu belum ada kalkulator dan siphoa yang hanya digunakan oleh para "babah"). Alat tulis dari kertas seperti buku tulis dan buku bacaan sangatlah sulit atau katakanlah terbatas.

Aku masih ingat, buku bacaan yang "kami" pakai dalam pelajaran membaca di kelas dua adalah buku "UDI dan UPI" dan di dalamnya merupakan pregmen-pregmen cerita suatu keluarga "contoeun" dengan tokoh sentral bernama "Udi dan Upi". Sampai sekarang salah satu monolog dari buku itu masih segar dalam ingatan: "Ngaran kuring Udi. Umur kuring dalapan taun. Kuring geus sakolah, kakara kelas dua".

Buku bacaan yang disediakan sekolah di kelasku sangat terbatas jumlahnya. Buku Udi dan Upi yang paporit itu, mungkin hanya berjumlah lima sampai sepuluh buah, karena tiap kali pelajaran membaca, guru membagikan buku kepada murid selalu tidak mencukupi dengan jumlah murid. Dan (maaf tidak bermaksud syu'udon) biar bagaimanapun guru dalam membagikan buku bacaan kepada murid-muridnya ada sedikit diskriminatif. Yang dipanggil dan diberi buku untuk dibaca hanya murid yang menurut pertimbangan guru "layak menerima". Hanya murid yang pintar juga yang rapih yang kebagian buku. Yang lainnya, jika tidak berani protes...ya....harus puas melongo "ngebang kadu". Tapi kerap kali pembagian buku yang diskriminatif itu menjadi pemicu kegaduhan di kelas, sehingga untuk melerainya guru memerintahkan murid yang tidak kebagian buku untuk gabung dengan yang sudah menerima. "Sang murid pilihan guru" yang kebagian buku, diapit oleh dua murid yang lainnya, seorang disebalah kiri dan seorang lagi disebelah kanannya. Kegaduhan masih berlangsung. Untuk gabung siapa dengan siapa nampak menimbulkan masalah juga. Si Encep tidak mau digabung dengan Si Ujang. Si Eneng tidak suka digabung dengan Si Nyai. Si Pintar enggan digabung dengan Si Bodoh. Kegaduhan baru berhenti tatkala guru menampakan "kekuasaan" dan "pamornya".

Stik kayu dipukul-pukulkan ke papan tulis keras-keras sambil berteriak : "Diam!!!". "Diam Semua!!!" (guru zaman dulu, galak-galak Lho! - tidak semua kaleee). Suasana jadi hening. Murid diam seribu bahasa (kali ini bertambah jadi semilyar kata). Dengan memendam ketidak puasan akhirnya terpaksa murid berkoalisi untuk membaca satu buku oleh tiga orang murid. Namun tidak urung menjadi sumber konflik, terutama bagi murid laki-laki, eh....siswa. Koalisi dengan basik ketidak puasan - satu buku yang dibaca oleh tiga orang itu - ditarik ke kiri dan diseret ke kanan. Yang di tengah yang merasa sebagai "orang pilihan" merasa terganggu karena tidak konsen "ngabandungan" orang yang membaca. Akhirnya sikut kiri dan sikut kanan. Yang disikut balas jitak dan yang dijitak balas tendang dan.............kacau lagi suasana. Saling tunjuk dan saling menyalahkan terjadi.: Kamu duluan" dan "Kamu juga duluan nyikut". Guru menjadi pusing. Marah di ronanya dan marah juga bentakkannya. Tiga orang murid harus berdiri di depan kelas, setelah terlebih dulu masing-masing dipukul stik kayu. Anehnya, kok "orang pilihan" tidak kelihatan meringis ketika dipukul "Sang Guru" (wah, jangan-jangan tekanan pukulan juga ada diskriminasi).

Menerima hukuman berdiri di depan kelas, bekennya saat itu dengan istilah "disetrap" (straft, kali ya) bisa sampai jam sekolah berahir. Kali ini tidak demikian, tiga murid hukuman hanya bertahan dua puluh menit, eh salah, guru hanya bertahan menyaksikan murid hukuman di depan kelas hanya sekitar dua puluh menit saja. But Why....De Fendi, sahut Pak Wapres (Negeri BBM). Ternyata kegaduhan di kelas makin menjadi-jadi. Bukan ada demo, tapi murid-murid yang duduk di bangku pada cekikikan dan tertawa. Mata pelajaran membaca jadi tidak seksama lagi diikuti oleh murid di kelas itu. Pasalnya???....... Salah seorang murid yang "diberdirikan" di depan kelas ternyata celananya tidak berkancing (pada waktu itu belum umum pakai resleting).

Kancing celananya seperti telah lama lepas (tidak dibetulin kok), antara lubang kancing hanya diikatkan oleh karet gelang seadanya dan kelihatannya tidak rapih. Jendela celana menjadi terbuka oleh kerutannya, menganga...........dan si perkutut sepertinya ingin menghirup udara segar (pengap bau pesing kali), ia melongo keluar dan celingukan dan..............geeeeer suara menjadi riuh. Guru pun "rampang-reumpeung" aneh. Setelah "kumpul lelembutannya", baru sang guru senyum dikulum dan menyuruh "terhukum" itu kembali duduk. Kawan yang punya perkutut yang dibiarkan celingukan, sekarang menjadi seorang pengusaha (Maaf ya kawan, tapi kan gue ga sebutin nama lo).

Ekonomi Indonesia waktu itu memang sedang sulit. Waktu itu memasuki tahun 1959. Beras sulit di dapat, selain mahal harganya juga tidak ada di pasaran (aneh bin aneh buat negeri agraris ini). Kami sering makan nasi bercorak kuning karena dicampur jagung, atau bercorak coklat karena divariasi dengan bulgur. Meskipun ayah dan ibu, kedua-duanya pegawai negeri, tapi pembagian beras dari dinas, tetap separohnya bulgur atau jagung, atau juga pernah pembagian untuk bulan tertentu seluruhnya bulgur. Rakyat banyak yang beralih makanan pokok pada ketela dan gaplek, malah eceng gondok pun terpaksa diembat. "HO", radikalnya "busung lapar" banyak terlihat di kalangan anak-anak saat itu. "Ayut Aga atau Beuteung burayut, euweuh tanaga- Panon bolotot bari celong" (innalillahi desaku, negeriku).

Bahan pakaian amat sangat sulit (Jarang banget, gitu). Pakaian dari bahan berkolin saja sudah dapat dikatakan kelas menengah. Umumnya pakaian dibuat dari bahan "kaci" dan "mori" atau dari bekas karung terigu (agak mending). Kebanyakan anak-anak yang belum menginjak usia balig, lebih sering ditemukan "berbugil ria" (untung waktu itu belum ada undang-undang pornografi).

Aku juga hanya punya baju tidak lebih lima buah dan celana lima buah. Satu setel bekas lebaran tahun lalu, bajunya dari bahan "teteron" (wah.......keren banget) dan celananya dari bahan "tektrek". Baju itu didapat dari Nenek karena waktu "ngabedahkeun" kolam (situ) aku membantu eh "ngarewong" dan mendapat "gacongan" dua blek ikan nilem. Oleh nenek, ikan-ikan itu diolah menjadi pindang, kemudian di jual ke pasar. Hasilnya.........jadi deh, baju lebaran yang dibeli dari "toko arab" di kota kabupaten (wah, mana ada Mall atau Supermarket jaman itu mah, Boy).

Sepertinya aku ini anak Nenek dan aku lebih disayang. Pakaian yang aku sukai adalah "pakaian matrosku" yang di belikan Ibu di Bandung saat aku diajak piknik ke Taman Lalu Lintas. Warnanya putih berstrip biru bak Marinir. Baju matros itu hanya dipakai sesekali saja. Buat berpergian atau acara tertentu, kata ibu. Tiga setel lagi adalah baju berkas "lungsuran" dari kakakku. Untung saudaraku banyak laki-laki. Kalau baju yang sudah sempit di kakakku, maka aku dapat giliran memakainya, begitupun kalau bajuku sempit maka adikku bagiannya. Baju pemberian kakakku itu juga sepertinya bukan beli baru. Baju bahan berkolin yang seperti bekas sprey itu dijahit dan dibikin baju oleh ibu (hahaha... boong bro, cuma dramatisir). Celananya dari bahan tebal "drill" seperti bekas celana dinas ayah yang inspektur polisi itu dipermak oleh ibu.

Oleh karena itu, kejadian kawanku di depan kelas, bukan sekedar musibah perkutut yang dialaminya, tetapi juga lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi indonesia yang sedang murat-marit.

Yang sabar yah kawan, aku tahu engkau tak pernah mau keadaan demikian, walaupun aku kemudian berbuat baik dengan melapaskan satu celana dan satu baju dari lima yang kumiliki, tapi "kemaluan eh rasa malu" yang menimpa dirimu terus terbawa lama jadi bahan ejekan yang lain. Mudah-mudahan saja kawan, perkututmu yang telah bersangkar lagi, dan sekarang sudah punya sangkar terbuat dari emas - karena engkau telah jadi "the big boss"- tidak ingin lepas atau sengaja dilepas tidak keruan.


Kamis, 30 Oktober 2008

KOK DESAKU HILANG DARI PETA



Dimana gerangan letak desaku?. Desa dimana aku dilahirkan.Tempat dimana aku dibesarkan. Ya…sekurang-kurangnya tiga puluh lima tahun paru-paruku menghirup udara segar pegunungan di desaku itu. Selama itu pula desaku memberiku ruang gerak. Memberiku lahan bermain di masa kecil. Bermain petak umpet, bermain galah, gatrik, pecle, main bola  pakai jeruk bali di kolam kering, naik gunung, panjat tebing, panjat pohon, berburu tupai, renang di sungai (leuwi) yang airnya sangat jernih. Pokonya berbagai permainan anak yang mungkin tidak dilakukan lagi anak kecil masa kini. Desaku pula tempat tawa dan canda dengan teman, kerabat atau sobat. Tempat merajut persahabatan. Tempat mengukir kenangan yang tak pernah lekang oleh waktu. 

Wah...wah kok jadi panjang dan menjurus ke "curhat", bukankah hanya ingin menjelaskan dimana letak desaku?. Itulah sulitnya, ya... sumpah sulit banget, karena desaku kecil dan tidak terkenal lagi. Dalam peta Indonesia saja, desaku tidak tertera. Dalam peta Propinsi hanya tertera sebuah titik, itupun menunjukan kota kecamatan. Baru nampak dalam peta Kabupaten, itupun tidak lebih besar dari sebutir kacang kedelai. Yaah.......kacian desaku. Sehingga aku berpikir apakah desaku sekecil dan tidak terkenal itu punya arti buat negeri ini?

Karena kecil dan tidak bekennya desaku, aku bingung melukiskan dimana letak desaku. Kalau menjelaskan letak desaku itu kepada orang se Kabupaten atau se Propinsi, barangkali bisa dengan bantuan peragaan tangan : belok kiri, terus lurus, jalan menurun kemudian naik, luruuus dan belok kanan, nyebrang sungai.....nah disanalah... tanganku sambil "papuket". Tapi untuk menjelaskan kepada pembaca blogku yang luas???. Cape deh...

Okey, aku coba mulai dari Jakarta. Lho.....kenapa Jakarta? apa dekat Jakarta ?. Bukan !!! Jakarta kan ibu kota negara kita (kami kalee...) . Negara Indonesiaku tercinta dan desaku merupakan salah satu dari 69.919 desa/kelurahan di Indonesia. Siapa sih yang tidak mengenal ibu kota negara Indonesia. Tidak mengenal Jakarta. Kalau saja ada anggapan orang mancanegara hanya mengenal Bali, mudahlah.....suruh mereka terbang lagi dari bandara Ngurah Rai dan mendarat di bandara Soekarno - Hatta. Beres kan! ( Gitu aja kok repot, ya Gus...).

Untuk menuju desaku, dari Jakarta masih harus menempuh perjalanan darat (pakai jalan tol selama 1,5 - 2 jam) sepanjang kurang lebih 219 km, itupun baru sampai di Ibu Kota Propinsi. Yah...baru sampai di Kota Bandung, Kota kembang, Paris Van Java, kota yang pernah dijadikan tempat konperensi Asia-Afrika dan Sidang Konstituante yang menoreh sejarah hingga akhirnya harus keluar dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945.....(STOP ah !!! ). Yang jelas desaku merupakan salah satu desa dari 5.778 desa/kelurahan di Jawa Barat.

Dari kota Bandung ke desaku masih harus menempuh perjalanan jauh sekitar 270an km ke arah tenggara melalui jalan yang berkelok-kelok, membelah gunung menyebrangi sungai (tapi jalannya hotmix lho..) dan sampailah di Ibu Kota Kabupaten yang terkenal sebagai kota yang paling MANIS diseantareo kota. Ciamis, ya......Ciamisku. Desaku adalah salah satu dari 341 desa/kelurahan di Kabupaten Ciamis.

He..he..he.. puter-puter ke Ciamis segala. Padahal untuk menuju desaku bisa tanpa ke Ibu Kota Kabupaten (Ciamis) dulu. Simpelnya menuju desaku adalah Bandung - Cicalengka - Nagreg - Ciawi - belok kiri kearah Panjalu, 7 km dari Ciawi pasti sampai di DESA PANUMBANGAN. Kalau kebablasan dari Ciawi karena ketiduran dan baru bangun di, Rajapolah, tinggal belok kiri saja menuju Cihaurbeuti. Hati-hati di Cihaurbeuti belok kiri lagi, sebab kalau ke arah kanan pasti sampai di Ciamis lewat Sindangkasih. Ambil jurusan Panjalu dan 11 km sebelum obyek Wisata Pegunungan Situ Lengkong disanalah DESAKU TERCINTA PANUMBANGAN.

Ha... ha... ha... yang membaca puyeng.... sama dengan yang bikin posting juga lagi Lieuuuuur..