Senin, 21 November 2011

SAMENAN DI SAKOLA PANJANG

Sakola Panjang”. Itulah nama yang dipakai umum untuk sekolah yang pertama aku masuki. Sekolah tingkat dasar yang mempunyai nama resmi Sekolah Rakyat Satu (SR I) Panumbangan. Pada saat aku mulai masuk sekolah, untuk sekolah tingkat dasar masih digunakan istilah sekolah rakyat, dan baru setelah aku duduk dikelas empat, papan nama sekolah diganti menjadi bertuliskan SEKOLAH DASAR PANUMBANGAN I. Oleh karena itu, dalam izasah pertamaku sudah mencantumkan istilah Sekolah Dasar.
Di desaku saat itu terdapat tiga buah sekolah dasar. Pertama sekolahku sebagai sekolah paling tua dan pertama ada, kemudian SD II terdapat di Cibeureum (sekarang desa Tanjungmulya) dan terahir SD III terdapat di “Tanjakan” (sebelah Mapolsek sekarang).
Entah sejak kapan sekolahku mulai terkenal dengan sebutan “Sakola Panjang”. Sangat sulit menelusurinya karena sekolah itu sudah berjalan sangat lama dan berusia tua. Mungkin satu abad sebelum aku sekolah disana, bangunan itu sudah berdiri. Katanya, bangunan itu dulunya bekas Vervolig School zaman Hindia Belanda. Namun bisa dipastikan, terkenalnya dengan sebutan sakola panjang karena memang sekolah itu hanya mempunyai satu-satunya bangunan dengan bentuknya “panjang”, memanjang dari Barat ke Timur sekitar 80 sampai 90 meter.
Bangunan sekolah yang memanjang itu dibagi enam ruangan kelas. Tiap-tiap ruangan mempunyai ukuran yang luas. Sepertinya tidak akan kurang dari 15 x 7 meter tiap kelasnya. Bangunannya sangat kokoh dan hampir semua bagian terbuat dari kayu jati. Dinding bangunan terbuat dari “bilik” seperti dibuat khusus, karena berbeda dengan bilik-bilik yang ada saat itu. Bilik disekolahku mempunyai anyaman tebal dan besar serta kuat karena dibuat hanya dari bagian kulit bambu yang keras. Antara ruangan kelas yang satu dengan yang lainnya disekat oleh bilik juga, tapi bisa dibuka-pasang. Jika semua penyekat ruangan dibuka, maka sekolah menjadi satu ruang panjang terbuka. Biasanya jika ada hari kenaikan kelas atau kami menyebutnya “Samen”, semua penyekat ruangan dibuka. Atau juga jika ada pertemuan atau rapat yang menampung banyak orang.
Meja belajar bagi murid dibuat khusus. Kokoh dan kuat terbuat dari kayu jati tebal. Bentuknya memanjang menyatu dengan kursinya . Tiap-tiap kursi bisa diduduki sekitar enam sampai delapan murid. Tapi bisa juga diduduki sampai sepuluh orang walaupun harus duduk berdesakan (pagegeye). Permukaan meja tidak rata air seperti umumnya meja tulis sekarang, tapi lebih mirip meja gambarnya para arsitek. Bagian depan meja didesain sedemikian rupa lebih tinggi dibandingkan bagian belakangnya. Mungkin maksudnya agar murid ketika membaca tidak usah mengangkat buku untuk memperjelas penglihatan. Tapi ada kelemahannya, jika murid menaruh pensil atau barang diatas permukaan meja, akan meluncur dan jatuh kebawah. Didalam kelas, murid harus selalu “tangan sidakep” diatas meja. Jika tiba-tiba murid membungkuk untuk mengambil pensil yang jatuh dibawah meja, sang guru akan marah dan menghadiahi satu pukulan stik kayu (alat penunjuk) kepada si murid.
Kata Samen sebagai suatu istilah untuk menunjuk pada pesta kenaikan kelas, sepertinya bukan asli bahasa sunda. Istilah tersebut mungkin saja diangkat dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan kata “samen” yang artinya bersama. Mungkin karena pada pesta kenaikan kelas, semua guru dan orang tua serta seluruh murid “berkumpul bersama” mengikuti acara, maka dikenallah sebutan samen atau samenan.

Dalam acara samenan bukan sekedar berkumpul bersama, tapi juga dipertunjukkan berbagai hiburan dari murid-murid, selanjutnya diadakan pengumuman kenaikan kelas dari mulai kelas satu sampai kelas enam. Dalam pengumuman itu sekaligus disebutkan penomoran ranking masing-masing murid. Pertama disebut adalah murid yang mempunyai ranking besar “panyocok” dan seterusnya satu demi satu sampai kepada murid yang mendapat ranking pertama. Pengumuman itu dilakukan secara terbuka karena disampaikan melalui corong pengeras suara. Dalam hal ini, murid yang naik kelas atau tidak serta yang mendapat ranking kecil atau besar akan diketahui secara luas. Akibatnya, murid yang mendapat ranking besar apalagi terahir menjadi bahan ejekan teman-temannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Ejekan “Si Panyocok Lodong” akan menjadi tekanan jiwa bagi murid yang menduduki ranking paling besar di kelasnya.
Dalam menghadapi samenan bagi anak sekolah saat itu seperti menghadapi Hari Raya Idul Fitri. Baju dan sepatu baru biasa diadakan atau terpaksa diadakan. Orang tua yang tidak mampu pun memaksakan diri berbuat semampunya untuk mendandani anaknya agar “ginding”. Kalau punya ternak kambing atau ayam seekorpun dijual sekedar untuk membeli pakaian anaknya. Samen adalah momen yang membuat “ginding, rapih dan bersih” bagi murid-murid. Oleh karena itu apabila kakakku atau aku belum mandi dan kelihatan sehari-harinya kotor dan bau atau tidak bersih dan tidak rapih, ibu lazim memberi celaan kepada anak-anaknya: “teu nyamen pisan anak-anakku ini”.
Ibu mempunyai dua orang anak di sekolah yang sama, yaitu kakak ku dan aku. Kami terpaut usia dua tahun dan sekolah pun berbeda dua tingkat. Ketika aku masuk kelas satu sekolah dasar, kakak ku sudah menduduki kelas tiga. Ruang kelas nya terhalang satu kelas. Kelasku berada paling ujung sebelah timur sedangkan kelas kakak ku diruangan ketiganya. Namun tiap ruangan kelas bisa terhubung satu dengan lainnya melalui pintu penyekat ruangan yang langsung bisa tembus ke ruangan kelas enam. Kelasku tidak menggunakan seluruh ruangan yang ada, tapi setengah bagian disekat oleh lemari-lemari buku membentuk formasi ruangan tersendiri untuk para guru dan kepala sekolah.
Ada kebiasaan nakal murid laki-laki di tiap kelas yang tidak patut ditiru. Kalau jam istirahat atau pada jam pelajaran tidak ada guru didua kelas yang berdampingan, kami sering adu kekuatan dengan saling dorong pintu penyekat yang bisa terbuka kedua arah. Jika pintu dapat didorong kearah kelas lain maka mereka yang mendesak dinyatakan sebagai pemenang. Dalam hal ini, tentu saja faktor kekuatan tenaga dan jumlah personal yang menentukan. Teman-teman sekelasku biasanya bertarung dengan kelas dua yang berada disebelah kelasku. Murid laki-laki kelas dua umumnya berbadan lebih besar dan lebih kuat dari pada teman-teman sekelasku yang masih duduk di kelas satu. Namun ada dua orang temanku yang berbadan besar. Mereka murid senior karena tidak naik ke kelas dua, alias “ngendog” di kelas satu. Mereka itulah yang menjadi “jeger” di kelasku. Mereka itulah yang sering pegang inisiatif menantang kelas dua untuk “adu pintu”. Sepertinya mereka berdua dendam kepada bekas teman sekelasnya dulu. Apapun yang dilakukan murid kelas dua, mereka berdua selalu menjadi pihak oposan dan menjadi provokator agar teman sekelasnya berantem. Sayang nya mereka berdua tidak mencari simpatik dari teman sekelasnya yang baru. Malah mereka sering “malak uang” kepada teman sekelasnya jika jajan di warung. Jika tidak dikasih, tinjunya akan berbicara. Jika mereka takut oleh guru untuk bertindak di lingkungan sekolah, ancaman kekerasan saat pulang sekolah pun sering mereka hamburkan melalui ucapanya yang kotor. Oleh karena itu mereka tidak disenangi dan dijauhi oleh teman sekelasnya. Anehnya mereka tidak berani malak padaku. Barangkali ada tiga hal yang membuat mereka “miris”. Pertama karena ibuku seorang guru dan kesehariannya ada di Sekolah. Kedua karena ayahku seorang polisi, pikirnya : “jika macam-macam kepadaku akan diseret ke Kantor polisi”. Dan ketiga, karena aku mempunyai kakak yang duduk di kelas tiga, atau saudara sepupuku (anak uwak dan paman) banyak yang duduk di kelas empat sampai kelas enam.
Seharusnya ketiga faktor itu tidak dijadikan alasan mereka untuk dekat denganku. Tanpa dipalak pun aku sering mengajak mereka jajan bersama. Kebetulan uang saku yang diberikan orang tuaku diatas rata-rata saat itu. Tiap kami (aku dan kakak ku) pergi sekolah dibekali uang satu rupiah. Untuk jajan bertiga dengan uang lima ketip pun sudah membuat kami kenyang. Ada ketentuan tidak tertulis jika aku mentraktir jajan kepada mereka. Satu talen untuk jajanku dan satu talen untuk jajan mereka berdua.

BERSAMBUNG

Sabtu, 19 November 2011

PEMBANTUKU, GURU BAGI KELUARGAKU.

Prolog : Harus kami akui, Pembantuku itu ternyata telah menjadi guru bagi keluarga kami. Ia memberikan pelajaran hidup bagaimana seharusnya bertindak saat sedang dalam kelapangan untuk menghadapi kemungkinan kesulitan dikemudian hari.

Potret ekonomi Indonesia dimasa Aku kecil
Sekitar empat tahun setelah Pemilihan Umum 1955, hegemoni politik dalam negeri terasa sangat tajam dan cenderung keras. Partai Politik yang tumbuh subur bagai jamur dimusim hujan dalam suasana sistim multi partai, selain berlomba menarik pengaruh massa, juga berupaya sedemikian rupa menyusupkan pengaruhnya kedalam berbagai kekuasaan pemerintahan. Kabinet yang dibangun dalam sistim parlementer ternyata kerap dijatuhkan sebelum bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Lembaga pembuat Undang Undang Dasar (konstituante) bersidang berlarut-larut menghabiskan uang rakyat hanya untuk mempertahankan prinsif sendiri, sehingga ahirnya gagal menetapkan hukum dasar baru dan kemudian dibubarkan tanpa suatu produk yang dihasilkan. Amanat “founding fathers” diawal pembentukan negara, (salah satunya) untuk tujuan “menciptakan kesejahteraan umum” telah dijalankan jauh melenceng karena kondisi keartaian Indonesia saat itu. Akibatnya, kondisi yang tercipta malah “kesengsaraan umum”. Orientasi pejabat di berbagai departemen tidak lagi diarahkan kepada bagaimana tercukupi kebutuhan pokok rakyat, tapi lebih mengutamakan dan memperluas kekuasaan politik dari partainya.
Memasuki tahun 1960, ekonomi Indonesia makin kacau. Umumnya kehidupan rakyat sangat sulit. Beras sebagai bahan pokok, selain harga melambung tinggi, nyaris hilang dari perdaran pasar. Indonesia sebagai negara agraris dengan pesawahan yang terhampar luas, tapi hasil panen dari petani entah kemana larinya. Banyak rakyat terpaksa beralih makanan pokok menjadi “singkong dan ubi”, “oyek” atau “tiwul”. Malah rakyat dipinggiran, terpaksa kesehariannya melalap “eceng gondok”. Penyakit “busung lapar” adalah potret tragis keadaan anak-anak Indonesia saat itu.
Kedua orang tuaku pegawai negeri, ibuku seorang guru dan ayahku seorang polisi. Pembagian beras yang biasa ibu terima dari kantornya dihentikan dan gantinya tunjangan beras berupa uang. Tentunya perhitungan harga untuk tunjangan yang ditetapkan pemerintah jauh dibawah harga pasar. Perbedaannya mencapai tiga atau empat kali lipat. Tunjang beras yang diterima ibu untuk empat jiwa sebanyak 40 kg, jika dibelikan beras dipasar jumlahnya hanya mendapat 10 kg saja. Sedangkan pembagian beras dari kantor ayahku diganti pula oleh “bulgur” dan “jagung” .
Potret rumahku dimasa kecilku
Bagaimanapun keadaan ekonomi saat itu, orang tuaku selalu berusaha agar kami semua tetap bisa makan nasi. Pembagian bulgur atau jagung dari kantor ayahku, oleh ibu sebagian besar dijual dan ditukarkan dengan beras walaupun jumlahnya menjadi sedikit. Sedangkan untuk menambahnya, mungkin ibu membeli beras itu dengan uang tunai. Yang aku ingat, barangkali saat itu ibu mengambil langkah penghematan. Cukup atau tidak cukup, ibu hanya menyiapkan 20 kg beras untuk satu bulan. Anggota keluarga yang ada saat itu sebanyak tujuh orang. Kedua orang tuaku, tiga orang saudaraku dan seorang pembantu. Saudara-saudaraku terdiri dari seorang kakak dan dua orang adikku. Seorang adik kira-kira berumur tiga tahun dan seorang lagi masih bayi. Jadi pratisnya, yang mengkonsumsi nasi tiap hari hanya enam orang, karena adikku yang masih bayi hanya memerlukan susu.
Kami mengkonsumsi nasi sehari dua kali. Pada makan pagi dan makan malam saja, sedangkan makan siang hanya mendapat berbagai makanan tambahan. Tapi makanan yang kami dapatkan pada siang hari senantiasa mengundang selera dan lezat. Tentunya nilai gizinya juga jangan diragukan lagi. Walaupun kesehariannya ibu meninggalkan rumah karena harus mengajar – dan kami anak-anak baru bisa berkumpul dengan kedua orang tua pada malam hari – tapi ibu kelihatannya terampil dalam mengurus rumah tangga. Pada pagi hari sebelum pergi kerja, ibu sudah memberikan arahan kepada pembantu tentang makanan tambahan apa yang harus diolah untuk siang hari. Pembantuku juga kelihatannya sebagai anak didik ibu yang paling cerdik. Sebagai seorang guru di kelas, ibu harusnya lebih bangga mempunyai anak didik yang cepat tanggap seperti pembantuku dirumah. Kalau untuk menyiapkan makanan tambahan untuk siang hari, ada-ada saja yang diolah pembantuku. Makanannya enak dipandang dengan aroma mengundang selera serta lezat setelah dicicipi. Jagung atau bulgur sisa pembagian dari ayahku yang tidak dijual ibu, dibuat bubur manis atau “sarikaya” jagung. Kerap juga ia membuat “papais jagung” atau bubur kacang ijo atau “seupan cau nangka” panganan paporit kami.
Dengan pengetatan makan nasi seperti yang dialami aku dan kelaurgaku pada saat itu, sepertinya waktu sekarang merupakan hal yang jarang terjadi. Tapi saat itu kami masih bersyukur masih bisa menemukan nasi walaupun hanya dua kali sehari. Umumnya rakyat saat itu, menemukan nasi sehari sekalipun belum tentu. Kesulitan ekonomi saat itu ternyata telah diolah sedemikian rupa oleh tangan ibuku seorang guru dan sekaligus pula seorang manager rumah tangga yang cekatan hingga mampu meminij keadaan hingga kami tidak kelaparan. Tapi aku merasa ada sesuatu pihak yang tidak kalah canggihnya dibalik keberhasilan ibu. Sebagai asisten ibu yang taktis dan melaksanakan langsung dalam mengolah rumah karena sepanjang hari ibu sendiri meninggalkan kami untuk dinas. Ia adalah pembantu rumah tangga kami.

Potret Pembantuku,

Aku tidak ingat lagi sejak kapan pembantuku mulai bekerja di rumahku. Yang aku ingat, ketika umurku lima atau enam tahun, ia sudah berada di rumahku. Ia sangat dekat dengan kami, aku dan kakak serta adik-adikku. Orang tua kami, kedua-duanya bekerja sebagai pegawai negeri yang sejak setengah tujuh pagi hingga jam dua siang, mereka meninggalkan kami di rumah. Pulang kerja pada sore hari, langsung istirahat tidak sempat berkumpul lagi dengan anak-anak. Baru setelah shalat isya kami bisa berkumpul bersama hanya untuk beberapa jam saja. Setelah itu, jam Sembilan atau jam sepuluh malam, semua sudah istirahat tidur dan berkkumpul lagi malam berikutnya. Pada saat itu belum ada pesawat televisi, karena station TVRI saja baru didirikan tahun 1962. Oleh karena itu, pada malam hari kami tidak biasa nongkrong di depan kaca TV menonton berbagai program yang disajikan.
Sehubungan kesibukan orang tuaku, tidak heran kalau semua anak-anak sangat dekat dengan pembantu itu. Hari-hari lebih lama bersama dia dibandingkan dengan orang tua kami yang sibuk. Dia sangat telaten mengurus kami. Mulai dari menyiapkan makan dan memandikan anak-anak sampai mengurus adiku yang masih bayi. Malah dia juga sering mendongengkan berbagai cerita pengantar tidur bagi kami.
Menurut cerita ibu, katanya “Si Bibi” (panggilan akrab kepada pembantu kami itu) berasal jauh dari suatu daerah pegunungan. Ia sudah tidak mempunyai sanak-saudara lagi, karena seluruh keluarganya terbunuh oleh gerombolan DI/TII waktu mengadakan serangan ke desanya. Ia pertama-tama menjadi pembantunya nenek, kemudian setelah ibu berumah tangga ikut bersama ibu.


Ia diurus nenekku sejak usianya Sembilan tahun, sehingga kami sudah memandangnya sebagai saudara. Pada saat itu aku berumur tujuh tahun dan si Bibi sudah berumur enam belas tahun. Dengan demikian bisa dipastikan, pertama kali si bibi dibawa oleh nenekku adalah saat-saat ibu melahirkan aku. Dengan demikian tidak serta merta ibu mulai berumah tangga, si bibi ikut bersama ibu. Besar kemungkinan, ketika ibu melahirkan aku sebagai anak kedua, kakakku masih berusia dua tahun, sehingga setelah ibu habis masa cuti melahirkan harus menjalankan tugas mengajar lagi, beliau merasa kerepotan meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil. Saat itulah, barangkali si bibi “direkrut” oleh orang tuaku.
Yang pasti dimasa-masa bayiku, aku lebih lama dalam kehangatan dekapannya. Aku membayangkan, bisa saja ketika aku masih bayi, menangis tidak bisa dihentikan karena ingin menyusu – sementara ibuku belum datang dari istirahat sekolah yang biasa beliau gunakan sebagai kesempatan memberikan Asi – si bibi berusaha menghentikan tangisanku dengan memberikan tetenya untuk “ngarerepeh” aku.
Jarang ditemukan seorang pembantu seperti si bibi. Ia menunjukkan pengabdian total terhadap keluarga kami. Mungkin karena ia sebatangkara sehingga tidak ada tempat mengabdi bagi dirinya kecuali kepada keluarga yang telah mengangkatnya dari penderitaan. Tapi menurutku bukan sekedar itu yang mendorong pegabdiannya. Memang sebelumnya ia telah mempunyai watak dan karakter tanggung-jawab dan jujur dalam menjalankan amanah. Ia tidak berorientasi kepada upah dalam menjalankan pekerjaan. Gaji bulanannya selama bertahun-tahun sengaja tidak ia ambil. Gajinya ditabungkan di Ibu, katanya untuk bekal jika ia nikah dan berumah tangga kelak.

Pelajaran Yang diberikan Si Bibi
Banyak hal yang unik dari sikap dan prilaku si bibi yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kami. Dalam masalah “perdapuran” kunci strateginya ada di bibi. Ibu mempercayakan penuh kepadanya tentang apa yang menjadi hidangan hari itu. Ibu cukup memberikan uang belanja harian kepadanya. Anehnya, tiap hari kami semua menyantap makanan yang bergizi dan bermutu tapi bukan makanan belanjaan dari pasar. Bibi pandai memanfaatkan lingkungan dan mengolahnya menjadi makanan yang baik bagi kami. Sebagai contoh, suatu hari bibi pernah mengajakku pergi ke kolam milik nenekku. Ia bukan menangkap ikan yang besar yang ditanam kakek, tapi ia malah menangkap ikan-ikan kecil seperti “burayak” atau “lauk sarebu” atau kami menyebutnya “impun”. Setelah mendapat ikan impun seember penuh, baru si bibi pulang kerumah dan memasak ikan itu. Ternyata “pepes impun” yang ia buat menjadi santapan yang paling laku di keluarga ku. Atau si bibi pernah juga seharian pergi kesawah. Berpayah-payah memungut kerang sawah “kijiing “ dan “tutut” seharian. Ternyata “angeun tutut” dan “goreng kijing” menjadi lauk-pauk makan yang (sebenarnya) sangat berguna bagi pertumbuhan kami. Alhamdulillah, ditengah sulitnya situasi ekonomi saat itu, ditengah orang lain kekurangan makanan, gizi anak-anak sangat buruk , penyakit “busung lapar“ mewabah dikalangan anak-anak sebayaku, tapi berkat keterampilan dan kecerdikan si bibi, aku dan saudaraku malah berbadan gempal (gondolo-sunda) dan sehat.
Bukan sekedar itu sikap terpujinya si bibi. Ia suka memberikan kejutan menghidangkan makanan istimewa setiap hari minggu. Ia sengaja belanja besar-besaran ke pasar, padahal ibu sendiri memberikan uang belanja harian seperti hari-hari biasa. Lantas darimana si bibi punya uang gede untuk belanja itu? Ia memasak opor ayam dan berbagai macam hidangan tersedia di meja makan. Ternyata….. uang belanja yang diberikan ibu setiap hari itu hanya dibelikan bumbu-bumbu saja dan selebihnya disimpan serta dibelanjakan makanan setiap minggu atau tetap disimpan untuk berjaga-jaga kalau ahir bulan ibu sudah sisip uang. Untuk menu harian, bibi cukup dengan kecerdikannya memanfaatkan lingkungan yang ada. BUKAN MAIN HEBATNYA PEMBANTUKU ITU.
Ada yang hebat lagi dari cara pengelolaan yang dilakukan si bibi. Malah cara yang ditempuh si bibi itu berkesan panjang dihati Ibu khususnya dan keluarga kami umumnya. Dalam masa kesulitan, ternyata strategi kedapuran yang dijalankan si bibi sebagai penyelamat keluarga kami. Suatu waktu, persediaan beras di rumah benar-benar sudah habis. Ibu sudah berupaya untuk beli ke pasar tapi ternyata di pasarpun tidak ada. Kata pedagang beras, stok baru ada bulan depan. Ibu jadi panik, malah ayah pun ikut terhanyut dan keluarlah kemarahan seorang polisinya: Wah…. ini pasti ada kejahatan PENIMBUNAN di pasar agar harga beras makin tinggi!!
Di tengah-tengah kepanikan keluarga, tiba-tiba si bibi dengan tenang menghampiri ibu dan berkata bahwa ia masih menyimpan beras tiga blek yang tentu cukup untuk kami makan satu bulan kedepan. Ternyata si bibi, setiap akan membersihan beras untuk ditanak (ngisikan) sebelumnya selalu menyisihkan tiga atau empat sendok beras dan disimpan didalam blek itu. Subhanallah, ternyata keadaan kekurangan beras seperti itu - keadaan yang luput dari perhitungan ibu – ternyata sudah jauh terpikirkan oleh sang pembantu walaupun tidak mengenyam pendidikan tinggi. Harus kami akui, Pembantuku itu ternyata telah menjadi guru bagi keluarga kami. Ia memberikan pelajaran hidup bagaimana seharusnya bertindak saat sedang dalam kelapangan untuk menghadapi kemungkinan kesulitan dikemudian hari.

Selasa, 15 November 2011

SEPEDA ONTEL VERSUS DELMAN

Ningali Sepeda Ontel, Mmmh....jadi waas. Inget ka jaman baheula. Lain waktu keur ngora, tapi beh dituna. Tah enya eta..... mangsa keur budak. Mangsa-mangsa pinuh karesep jeung pinuh kaulinan. Kaulinan nu moal nyampak di barudak kiwari. Sabangsaning Galah, Gatrik, Pecle, Ucing sumput jrrd. Anu ayeuna mah kari tunggul budayana. Kasilih ku "Gameswatch", "Nitendo", terus "Play Station". Kadieunakeun aya "Games hape", malah ayeuna mah populer ku "Games Online"!!

Sapeda Ontel ngalalar hareupeun Imah. Diboseh ku Aki-aki. Jigana manehna teh Veteran, da make seragamna "khas" warna kheki-kheki, dina pecina jeung dada aya emblim "merah-putih". Duka ketang mun sakadar "fashionshow" jang narik "perhatian" batur mah.

Najan nyelap disela-sela herang mencrangna mobil Inova, Honda Jazz jeung Ferari kagungan "Melinda Di" tapi Sapeda Ontel eta bet onjoy katempona. " Wah Antik Euy!!!....". gorowok tukang ojeg dipeuntaseun jalan.

Jang kuring mah, pamandangan sapeda ontel eta teh bet mulangkeun panineungan ka lima puluh taun katukang. Blenyeeeh...blenyeeh kuring seuri sorangan. Ras inget kana kajadian baheula. Kacilakaan Ontel nu dibawa ku kuring nabrak Delman..... mmmmh....bet karasa lucuna ayeuna.

Poho deui taun kajadianana mah. Nu kainget teh harita kuring kakara asup Kelas Hiji Sakola Rakyat (SR) mun ayeuna mah SD. Harita teh pun Bapa meser sapeda merk "religh". Mani atoh teh hate kuring. Meureun mun ayeuna mah kawas budak dipangmeulikeun motor da karasana teh pinuh kareueus. Saking reueus na, ti isuk-isuk tug nepi ka peuting, gawe teh kuring ngelapan sapeda. Da ari numpak jeung ngaboseh mah tacan bisa. Suku ge ngagantung keneh. Paling-paling sepeda ditungtun-tungtun kamamana. Mun ceuk pikiran ayeuna mah ngalatih leungeun netegkeun nyekel setang.

Dua poe ti harita, kakara kuring wani diajar naek sepeda. Eta sepeda teh, lain sepeda mini anu ilaharna jang barudak, tapi ieu mah sepeda gede jang kolot. Aya palang beusi di tengahna ge. Cenah nukitu teh disebut "sepeda lalakina", da ngan bisa dipake ku lalaki. Mun dipake ku awewe mah anu harita marake rok panjang atawa kabaya, pasti ti karijet. Mun naek sepeda, kuring mah can bisa nete pedal ku suku kenca heula, sabab can aya kasaimbangan. Tapi make suku katuhu. Sepeda teh dilengkahan ... gojreek ... gojreek ... pedal di bosehna saeutik-saeutik, teu saputeran ieuh.

Diajar sepeda teh di lapang, keur kuring mah geus teu malire waktu. Ti rebun-rebun, teu ngahiding ku tiris bari lapang leueur ku cireumis, atawa beurang panas mentrang, moreret panon poe, atawa hujan ngagebret, buuk camutmut baju jibreg ge, ih terus jeung terus be diajar sepeda teh. Kusabab kitu, ngan sapoe kuring geus bisa ngajalankeun sepeda bari saimbang maju diboseh.
Ari suku pinuh tatu jeung barared dina bincurang atawa tuur jalantowor mah moal dicaritakeun da panjang teuing lalakonna.

Dasar budak, malah indung-bapak jeung tatangga mah nelah ka diri kuring teh "budak bangor" jeung "budak bandel". Tapi ceuk rarasaan kuring harita mah wajar-wajar saja!! Maksud teh..... kuring sok keukeuh peuteukeuh saking hayang bisa.
Isukna kuring nyoba-nyoba ngajalankeun sepeda bari naek kana palang beusina. Padahal suku can bisa nepi kana pedal. Ngaboseh ge dikaitan ku indung suku atawa usay-asoy ngasah palangkakan. Atuh sianyut unang....teh lalecet .... hehehe.....

Teu cukup sakitu, numpak sepeda geus teu puas di lapang. Kuring nekad turun ka jalan. Wah...wah...hebat masuk Arena niech.... Ceuk dina hate harita.

Sesepedahan ti isuk nepi ka beurang, lain ngan sakadar luut leet kesang, tapi karasa halabhab hayang nginum teu katahan. Kuring balik ka imah. Di sagigireun hayang nginum kuring geus kudu asup Sakola da kagiliran bagean asup beurang. Puguh sok rada leleda ari asup sakola teh, da eta boga rasa Indung jadi "Kepala Sekolana". Disebutna ge harita mah "Juragan Mantri Guru". Wah..wah...mpreeet... ceuk Incu nyemceman. Bari pok teh nanya: "Kek...... waktu dulu kakek tiga hari belajar sepeda.... bolos sekolah yah...???". Atuh puguh kuring bingung ngajawab. Tungtungna ngomong sabulang bentor : "Ssst....yg itu Ъќ ada di skenario!!"

Rengse mandi, kuring make baju "Matros". Baju kameumeut, bodas strip biru kawas Angkatan Laut. Harita mah can aya Seragam Sakola. Loba keneh murid nu make baju sahayuna jeung saayana. Urut dulurna atawa urut kolotna da katempona galombrang logor. Mun ayeuna, jiga na baju murid loba nu make kaos Partai politik sesa Pemilu atawa nu aya Gambar Calon Kepala Daerah sesa Pilkada. Kacipta beraneka rupa kawas kampanye gabungan di sakola teh. Palebah suku, tara disapatuan atawa make sendal ieuh. Lolobaana mah "Nyeker"!!!. Duh.....Nasib.....potret Indonesia masa lalu!! Alat-alat sakola beda jeung ayeuna serba lengkap serba merk "Cina" Timimiti patlot, jidar jeung wadah na nepi ka Kantong kabeh buatan babah. Kaciri bangsa urang mah "horeaman" tamba era bisi disebut "Teu Becus Nyieun"!!!
Harita mah alat sakola teh "Sabak" jeung "Gerip". moal manggih Buku!!! Euweuh kalkulator.... tapi cukup ku popotongan nyere.

Saenggeus ginding, kuring ngahaja ngaca heula dina eunteung. Nyisiran bari luhak lehek. Mmm ....... gaya lah.... buuk ge dipotong ala "calipso"

"Tok tok tok.. Punten....punten" jigana di luar aya tamu. Enya be....anu pupuntenan teh murid kelas genep jurungan pun biang bade nyandak bubuy sampeu nu dibalur ku gula sireum. Kedah dianteurkeun ka Sakola saurna teh.
Lakadala..... Ceuk pikir kuring.... kabeneran kuring hayang make sepeda ka sakola. "Teh..... Wios bubuy sampeu mah engke dicandak ku abdi ka sakola, ceuk kuring ka jurungan pun biang.

Jarak ti Imah kuring ka sakola teh kurang leuwih kana lima ratus meteran. Jalana mudun pisan. Teu manggih tanjakan atawa datar deui. Mudun teh terus nepi ka pakarangan sakola. Mun make sepeda teh mo kungsi diboseh. Aah... ngeunah yeuh..... Ceuk hate kuring.

Bubuy Sampeu dua gelempeng di bungkus ku kertas koran opat lapis. Diteundeun luhureun sabak dina pangboncengan sepeda. Dibeungkeut make tali tambang lulub, da harita mah can aya tali rafia.
Clak kuring naek sepeda. Teu hese ieuh.....geuleuyeung sepeda maju da karuhan mudun tea. Gurudug....guruduk.... sepeda beuki lila...beuki tarik..... tariiik .... tariik ....tariiik pisan. Kuring panik. Rem ngadadak teu jalan. Laju sepeda geus teu kakendalikeun. Dihareupeun aya delman.... Kuring beuki panik........ Tungtungna ...brrraaaakk.....!!!! sepeda neunggar kuda. Kuring jeung sepeda na asup kakolong delman. Sabak jeung bungkusan sampeu ngacleng!! Sabak mah peupeus ancur pisan mo kapuluk deui. Ngan eta bungkusan sampeu ngaclengna kana kadut wadah "eta kuda" nu biasa di pasang handapeun delman.

Anehna kuring mah teu nanaon. Ngan siku duanana bared. Tapi kuring ceurik satarik tarikna. Atuh puguh kusir teh reuwaseun kacida, bari ngarampaan awak kuring bisi kumaonam jigana. Bari ceurik kuring nunjuk kana kadut wadah "eta kuda". Kusir rungah ringeuh teu ngartieun. Tapi sanggeus katempo aya bungkusan, kakara ngarti, bari tuluy ngasongkeun bungkusan ka kuring. Bungkusan teh jadi hejo warnana pinuh ku "jus jukut". Untung be dibungkus ku opat lapis koran. Lambar bungkusan paling luar nu kotor ku kuring dibuka tuluy dipiceun. Katingalina ge ayeuna mah bersih deui.

Pondok carita.... Kuring dianteurkeun ka sakola dina delman. Teu nyaur ieuh ka pun biang yen kuring tos kacilakaan. Da eta sieun diambek. Langsung kuring asup ka Ruang Kepala Sakola kalayan gusat gesut nyanggakeun bungkusan tea.
Tos kitu mah berebet be kuring lumpat muru ka kelas.
.
Peutingna..... Bada isya kuring ngapalkeun di tengah imah. Pun biang sasauran ka pun bapa di ruang tamu : " Tadi mah di sakola bubuy sampeu teh nikmat pisan, gula sireumna teh asa pelem teu pati amis teuing. Duka pedah galo sareng sampeu.....tapi da asa renyah kawas urab"
Kuring : Boa boa???????????

Kamis, 26 Maret 2009

MASIH TENTANG NAMA DESAKU

Tidak ada bukti sejarah yang menunjukan sejak kapan desaku berdiri. Siapa cikal bakal atau siapa yang mengawali bermukim disana serta mengapa mereka sampai memberi nama "Panumbangan" terhadap tempat pemukimannya.

Menurut cerita dari mulut kemulut - melalui dongeng para orang tua, nenek/kakek, buyut dan "jangawareng" - terdapat dua versi cerita tentang asal mula nama Panumbangan. Salah satu versi mengatakan bahwa "panumbangan" berasal dari kata "panimbangan". Konon pada awal VOC berkuasa, di Gunung Syawal dijadikan perkebunan Kopi dan di lereng gunung tepatnya di desa yang disebut Panumbangan itu, dijadikan tempat penimbangan kopi. Ahirnya dikenallah dengan nama Panumbangan. Jika cerita tersebut mengandung kebenaran maka bukti pendukungnya bahwa ternyata di gunung syawal pada saat sekarang ini masih terdapat bekas perkebunan kopi.

Sedangkan menurut versi lainnya mengatakan bahwa nama panumbangan berasal dari kata dasar "tumbang". Menurut kaidah bahasa Sunda: dengan imbuhan "pa" dan kata "tum" berubah bunyi menjadi "num" serta ditambah akhiran "an", mengandung arti tempat terjadinya sesuatu yang tumbang, yang jatuh atau yang kalah. Katanya zaman dulu terjadi permusuhan (perseteruan) masal antara penduduk desa itu (yang terletak di sebelah timur sungai citanduy) dengan penduduk sebrang (orang peuntas yang terletak disebelah baratnya). Kerap kali kedua penduduk desa itu saling serang-menyerang dan setiap datang serangan dari "orang peuntas" selalu dipatahkan, dijatuhkan atau ditumbangkan di desa itu.

Wallahualam bi sawab!!

Sabtu, 15 November 2008

PERKUTUTMU ITU CELINGUKAN


Sering aku berfikir keras untuk mengingat sejak kapan sebenarnya aku mengetahui desaku itu bernama Panumbangan. Memang, sebelum awal hayatku, desa tempat kelahiranku itu sudah bernama demikian. Yang aku ingin ketahui dari diriku, awal sadar nalar terhadap nama tempat kelahiranku itu. Mungkin ketika aku menginjak usia tujuh tahun? Ketika aku mulai masuk sekolah dasar (SD) yang ketika zaman aku dulu institusi sekolah paling bawah disebuat "Sekolah Rakyat" atau disingkat SR? Ataukah sebelumnya aku sudah mulai dapat mengingat nama itu?

Hanya satu peristiwa yang sekarang masih membekas dibenakku sebagai "first moment" dalam upayaku menelusuri surut pikir ke masa lalu. Dulu, pamanku (adik ayahku) tinggal di rumah ku bersama kami. Ia sekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama - sederajat SMP). Tulisannya sangat bagus dan memang pada umumnya orang sekolahan dulu mempunyai tulisan bagus-bagus, karena sejak awal masuk sekolah pun sudah dilatih membuat tulisan indah "tebal tipis". Waktu itu belum ada komputer dan mesin tik pun sangat langka, sehingga tulisan tangan merupakan hal utama dalam surat-menyurat dan naskah tertulis disemua kantoran. Di rumah, pamanku mengecat tempat sampah bersegi empat terbuat dari kayu dengan susunan warna hijau kuning dan biru. Disatu sisinya ditulis kata "TEMPAT SAMPAH" dengan huruf besar dan tebal dengan cat warna kuning, sedang disisi lainnya ditulis "Panumbangan 05-08-1956". Pamanku menyuruh membaca kepadaku yang saat itu masih kecil, tapi aku bisa membacanya walaupun dengan dieja dan lambat. Yang membuat aku teringat terus terhadap tulisan di bak sampah itu karena ada kejadian yang menyertainya.

Sementara paman meninggalkan pekerjaannya untuk mengambil minum kedalam rumah - aku yang dari awal mendampingi paman bekerja - ditinggal diantara kaleng-kaleng cat yang berserakan dan tempat sampah yang belum mengering. Aku membaca sekali lagi tulisan yang tertera di tempat sampah itu. Menurut pikiranku ada yang aneh dari tulisan itu. Mungkin paman salah menulisnya. Tulisan angka "05" dan "08" telah mengganggu jalan pikiranku. Menurut pemahamanku saat itu, penulisan angka dua digit adalah menunjukan puluhan, tapi sebagaimana telah diajarkan Ibuku, tidak ada puluhan yang diawali angka nol. Mungkin pamanku terbalik menulisnya. Seharusnya beliau menulis angka "50" dan "80". Itulah penulisan yang menurut "setting program" dalam otakku benar. Sampai saat itu belum ada orang lagi yang mengupdate program di otakku bahwa tidak ada tanggal kelima puluh atau bulan kedelapan puluh atau penambahan digit angka nol sebelumnya tidak merubah nilai satuan menjadi puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya. Ukuran kebenaranku saat itu berdasarkan program yang telah "terinstall" terlebih dulu dalam otakku. Jelas, paman berbuat kesalahan dalam tulisannya dan harus kuperbaiki, demikianlah alam pikiranku saat itu. Tanpa pikir panjang lagi, aku celupkan kuas sebesar telunjukku ke dalam kaleng cat warna kuning. Aku tulis angka nol setelah angka lima dan delapan menimpali tanda garis penghubung. Tapi ukuran tulisanku tidak sama dengan ukuran tulisan buatan paman. Yang satu setelah angka lima kekecilan dan yang satu lagi setelah angka delapan kebesaran dan kelihatannya tidak rapih seperti buatan paman. Tiba-tiba paman datang. Tentu saja beliau marah berat kepadaku. Pekerjaan yang digarap paman sejak pagi, ketika hampir kering dicoret moret oleh keponakannya. Saking kesalnya, beliau menjewer telingaku keras-keras. Telingaku dipelintir dan kuku ibu jarinya yang panjang dan tajam menancap hingga telingaku terobek. Aku menjerit dan menangis. Merasa niat baikku untuk membetulkan kesalahan tulisan paman dibalas dengan ketidak-adilan, tangan kananku meraih kaleng cat berwarna hijau dan kutumpahkan menyembur tempat sampah hingga menutup semua tulisan hasil pekerjaan paman sejak pagi. Ada kebetulannya, warna background tempat sampah, sama dengan warna cat yang aku semburkan itu. Yah... itung-itung pekerjaan paman yang menurut pemahamanku salah terkena "delete" oleh kemarahanku.

Yang berkaitan dengan pengetahuanku tentang nama tempat kelahiranku, bahwa peristiwa dengan pamanku itu dapat dijadikan "starting moment" awal aku mengetahui Panumbangan adalah Nama Desaku. Setidak-tidaknya dapat menunjukkan bukti tulisan. Saat itu aku bisa mengeja tulisan paman dengan sangat sulit dan terputus-putus. Aku mengeja dengan kata-kata: "pe a en u em = panum, be a en ge = bang dan a en = an, pan... panum...bang.... panumbang... an... " Tanggal yang ditulis paman adalah 5 Agustus 1956. Jika aku dilahirkan pada bulan April 1952, maka saat itu aku berumur empat tahun lebih tiga bulan lima hari. Tapi masalahnya saat itu aku sudah mengenal huruf dan angka serta membaca tulisan walaupun dengan mengeja.

Kita tinggalkan dulu penelusuran terhadap pengetahuan awal aku tentang nama desaku. Aku punya cerita yang lucu ketika aku masih di sekolah pendidikan dasar. Seperti sudah aku katakan, zamanku dulu sekolah dasar disebut sekolah rakyat. Sampai saat ini aku belum tahu alasan dan landasan pemikiran para pengambil keputusan saat itu dengan memberi nama Sekolah Rakyat bagi pendidikan dasar itu. Padahal dengan pemakaian kata "rakyat" akan memberikan kesan "sekolah untuk inlander" zamannya penjajahan Belanda. Sebelum memasuki pendidikan dasar, pada zamanku dulu belum dikenal adanya Taman Kanak-kanak, sehingga aku langsung masuk SR. Kurang lebih tiga atau empat tahun mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat, aku belum mengenal alat tulis kertas, pensil atau pulpen. Yang aku tahu hanya alat tulis "sabak" dan "gerip". Sabak atau batu tulis, berwarna hitam pipih dan persegi empat dengan ukuran bervariasi antara 20 x 30 cm, 30 x 40 cm.

Tiap pergi atau pulang sekolah kami selalu menengteng sabak (sebenarnya rawan untuk pecah) dan membawa kotak kecil berisi gerip serta beberapa puluh potongan lidi dengan ukuran 10 cm (lidi ini digunakan sebagai alat bantu pelajaran berhitung, karena waktu dulu belum ada kalkulator dan siphoa yang hanya digunakan oleh para "babah"). Alat tulis dari kertas seperti buku tulis dan buku bacaan sangatlah sulit atau katakanlah terbatas.

Aku masih ingat, buku bacaan yang "kami" pakai dalam pelajaran membaca di kelas dua adalah buku "UDI dan UPI" dan di dalamnya merupakan pregmen-pregmen cerita suatu keluarga "contoeun" dengan tokoh sentral bernama "Udi dan Upi". Sampai sekarang salah satu monolog dari buku itu masih segar dalam ingatan: "Ngaran kuring Udi. Umur kuring dalapan taun. Kuring geus sakolah, kakara kelas dua".

Buku bacaan yang disediakan sekolah di kelasku sangat terbatas jumlahnya. Buku Udi dan Upi yang paporit itu, mungkin hanya berjumlah lima sampai sepuluh buah, karena tiap kali pelajaran membaca, guru membagikan buku kepada murid selalu tidak mencukupi dengan jumlah murid. Dan (maaf tidak bermaksud syu'udon) biar bagaimanapun guru dalam membagikan buku bacaan kepada murid-muridnya ada sedikit diskriminatif. Yang dipanggil dan diberi buku untuk dibaca hanya murid yang menurut pertimbangan guru "layak menerima". Hanya murid yang pintar juga yang rapih yang kebagian buku. Yang lainnya, jika tidak berani protes...ya....harus puas melongo "ngebang kadu". Tapi kerap kali pembagian buku yang diskriminatif itu menjadi pemicu kegaduhan di kelas, sehingga untuk melerainya guru memerintahkan murid yang tidak kebagian buku untuk gabung dengan yang sudah menerima. "Sang murid pilihan guru" yang kebagian buku, diapit oleh dua murid yang lainnya, seorang disebalah kiri dan seorang lagi disebelah kanannya. Kegaduhan masih berlangsung. Untuk gabung siapa dengan siapa nampak menimbulkan masalah juga. Si Encep tidak mau digabung dengan Si Ujang. Si Eneng tidak suka digabung dengan Si Nyai. Si Pintar enggan digabung dengan Si Bodoh. Kegaduhan baru berhenti tatkala guru menampakan "kekuasaan" dan "pamornya".

Stik kayu dipukul-pukulkan ke papan tulis keras-keras sambil berteriak : "Diam!!!". "Diam Semua!!!" (guru zaman dulu, galak-galak Lho! - tidak semua kaleee). Suasana jadi hening. Murid diam seribu bahasa (kali ini bertambah jadi semilyar kata). Dengan memendam ketidak puasan akhirnya terpaksa murid berkoalisi untuk membaca satu buku oleh tiga orang murid. Namun tidak urung menjadi sumber konflik, terutama bagi murid laki-laki, eh....siswa. Koalisi dengan basik ketidak puasan - satu buku yang dibaca oleh tiga orang itu - ditarik ke kiri dan diseret ke kanan. Yang di tengah yang merasa sebagai "orang pilihan" merasa terganggu karena tidak konsen "ngabandungan" orang yang membaca. Akhirnya sikut kiri dan sikut kanan. Yang disikut balas jitak dan yang dijitak balas tendang dan.............kacau lagi suasana. Saling tunjuk dan saling menyalahkan terjadi.: Kamu duluan" dan "Kamu juga duluan nyikut". Guru menjadi pusing. Marah di ronanya dan marah juga bentakkannya. Tiga orang murid harus berdiri di depan kelas, setelah terlebih dulu masing-masing dipukul stik kayu. Anehnya, kok "orang pilihan" tidak kelihatan meringis ketika dipukul "Sang Guru" (wah, jangan-jangan tekanan pukulan juga ada diskriminasi).

Menerima hukuman berdiri di depan kelas, bekennya saat itu dengan istilah "disetrap" (straft, kali ya) bisa sampai jam sekolah berahir. Kali ini tidak demikian, tiga murid hukuman hanya bertahan dua puluh menit, eh salah, guru hanya bertahan menyaksikan murid hukuman di depan kelas hanya sekitar dua puluh menit saja. But Why....De Fendi, sahut Pak Wapres (Negeri BBM). Ternyata kegaduhan di kelas makin menjadi-jadi. Bukan ada demo, tapi murid-murid yang duduk di bangku pada cekikikan dan tertawa. Mata pelajaran membaca jadi tidak seksama lagi diikuti oleh murid di kelas itu. Pasalnya???....... Salah seorang murid yang "diberdirikan" di depan kelas ternyata celananya tidak berkancing (pada waktu itu belum umum pakai resleting).

Kancing celananya seperti telah lama lepas (tidak dibetulin kok), antara lubang kancing hanya diikatkan oleh karet gelang seadanya dan kelihatannya tidak rapih. Jendela celana menjadi terbuka oleh kerutannya, menganga...........dan si perkutut sepertinya ingin menghirup udara segar (pengap bau pesing kali), ia melongo keluar dan celingukan dan..............geeeeer suara menjadi riuh. Guru pun "rampang-reumpeung" aneh. Setelah "kumpul lelembutannya", baru sang guru senyum dikulum dan menyuruh "terhukum" itu kembali duduk. Kawan yang punya perkutut yang dibiarkan celingukan, sekarang menjadi seorang pengusaha (Maaf ya kawan, tapi kan gue ga sebutin nama lo).

Ekonomi Indonesia waktu itu memang sedang sulit. Waktu itu memasuki tahun 1959. Beras sulit di dapat, selain mahal harganya juga tidak ada di pasaran (aneh bin aneh buat negeri agraris ini). Kami sering makan nasi bercorak kuning karena dicampur jagung, atau bercorak coklat karena divariasi dengan bulgur. Meskipun ayah dan ibu, kedua-duanya pegawai negeri, tapi pembagian beras dari dinas, tetap separohnya bulgur atau jagung, atau juga pernah pembagian untuk bulan tertentu seluruhnya bulgur. Rakyat banyak yang beralih makanan pokok pada ketela dan gaplek, malah eceng gondok pun terpaksa diembat. "HO", radikalnya "busung lapar" banyak terlihat di kalangan anak-anak saat itu. "Ayut Aga atau Beuteung burayut, euweuh tanaga- Panon bolotot bari celong" (innalillahi desaku, negeriku).

Bahan pakaian amat sangat sulit (Jarang banget, gitu). Pakaian dari bahan berkolin saja sudah dapat dikatakan kelas menengah. Umumnya pakaian dibuat dari bahan "kaci" dan "mori" atau dari bekas karung terigu (agak mending). Kebanyakan anak-anak yang belum menginjak usia balig, lebih sering ditemukan "berbugil ria" (untung waktu itu belum ada undang-undang pornografi).

Aku juga hanya punya baju tidak lebih lima buah dan celana lima buah. Satu setel bekas lebaran tahun lalu, bajunya dari bahan "teteron" (wah.......keren banget) dan celananya dari bahan "tektrek". Baju itu didapat dari Nenek karena waktu "ngabedahkeun" kolam (situ) aku membantu eh "ngarewong" dan mendapat "gacongan" dua blek ikan nilem. Oleh nenek, ikan-ikan itu diolah menjadi pindang, kemudian di jual ke pasar. Hasilnya.........jadi deh, baju lebaran yang dibeli dari "toko arab" di kota kabupaten (wah, mana ada Mall atau Supermarket jaman itu mah, Boy).

Sepertinya aku ini anak Nenek dan aku lebih disayang. Pakaian yang aku sukai adalah "pakaian matrosku" yang di belikan Ibu di Bandung saat aku diajak piknik ke Taman Lalu Lintas. Warnanya putih berstrip biru bak Marinir. Baju matros itu hanya dipakai sesekali saja. Buat berpergian atau acara tertentu, kata ibu. Tiga setel lagi adalah baju berkas "lungsuran" dari kakakku. Untung saudaraku banyak laki-laki. Kalau baju yang sudah sempit di kakakku, maka aku dapat giliran memakainya, begitupun kalau bajuku sempit maka adikku bagiannya. Baju pemberian kakakku itu juga sepertinya bukan beli baru. Baju bahan berkolin yang seperti bekas sprey itu dijahit dan dibikin baju oleh ibu (hahaha... boong bro, cuma dramatisir). Celananya dari bahan tebal "drill" seperti bekas celana dinas ayah yang inspektur polisi itu dipermak oleh ibu.

Oleh karena itu, kejadian kawanku di depan kelas, bukan sekedar musibah perkutut yang dialaminya, tetapi juga lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi indonesia yang sedang murat-marit.

Yang sabar yah kawan, aku tahu engkau tak pernah mau keadaan demikian, walaupun aku kemudian berbuat baik dengan melapaskan satu celana dan satu baju dari lima yang kumiliki, tapi "kemaluan eh rasa malu" yang menimpa dirimu terus terbawa lama jadi bahan ejekan yang lain. Mudah-mudahan saja kawan, perkututmu yang telah bersangkar lagi, dan sekarang sudah punya sangkar terbuat dari emas - karena engkau telah jadi "the big boss"- tidak ingin lepas atau sengaja dilepas tidak keruan.


Kamis, 30 Oktober 2008

KOK DESAKU HILANG DARI PETA



Dimana gerangan letak desaku?. Desa dimana aku dilahirkan.Tempat dimana aku dibesarkan. Ya…sekurang-kurangnya tiga puluh lima tahun paru-paruku menghirup udara segar pegunungan di desaku itu. Selama itu pula desaku memberiku ruang gerak. Memberiku lahan bermain di masa kecil. Bermain petak umpet, bermain galah, gatrik, pecle, main bola  pakai jeruk bali di kolam kering, naik gunung, panjat tebing, panjat pohon, berburu tupai, renang di sungai (leuwi) yang airnya sangat jernih. Pokonya berbagai permainan anak yang mungkin tidak dilakukan lagi anak kecil masa kini. Desaku pula tempat tawa dan canda dengan teman, kerabat atau sobat. Tempat merajut persahabatan. Tempat mengukir kenangan yang tak pernah lekang oleh waktu. 

Wah...wah kok jadi panjang dan menjurus ke "curhat", bukankah hanya ingin menjelaskan dimana letak desaku?. Itulah sulitnya, ya... sumpah sulit banget, karena desaku kecil dan tidak terkenal lagi. Dalam peta Indonesia saja, desaku tidak tertera. Dalam peta Propinsi hanya tertera sebuah titik, itupun menunjukan kota kecamatan. Baru nampak dalam peta Kabupaten, itupun tidak lebih besar dari sebutir kacang kedelai. Yaah.......kacian desaku. Sehingga aku berpikir apakah desaku sekecil dan tidak terkenal itu punya arti buat negeri ini?

Karena kecil dan tidak bekennya desaku, aku bingung melukiskan dimana letak desaku. Kalau menjelaskan letak desaku itu kepada orang se Kabupaten atau se Propinsi, barangkali bisa dengan bantuan peragaan tangan : belok kiri, terus lurus, jalan menurun kemudian naik, luruuus dan belok kanan, nyebrang sungai.....nah disanalah... tanganku sambil "papuket". Tapi untuk menjelaskan kepada pembaca blogku yang luas???. Cape deh...

Okey, aku coba mulai dari Jakarta. Lho.....kenapa Jakarta? apa dekat Jakarta ?. Bukan !!! Jakarta kan ibu kota negara kita (kami kalee...) . Negara Indonesiaku tercinta dan desaku merupakan salah satu dari 69.919 desa/kelurahan di Indonesia. Siapa sih yang tidak mengenal ibu kota negara Indonesia. Tidak mengenal Jakarta. Kalau saja ada anggapan orang mancanegara hanya mengenal Bali, mudahlah.....suruh mereka terbang lagi dari bandara Ngurah Rai dan mendarat di bandara Soekarno - Hatta. Beres kan! ( Gitu aja kok repot, ya Gus...).

Untuk menuju desaku, dari Jakarta masih harus menempuh perjalanan darat (pakai jalan tol selama 1,5 - 2 jam) sepanjang kurang lebih 219 km, itupun baru sampai di Ibu Kota Propinsi. Yah...baru sampai di Kota Bandung, Kota kembang, Paris Van Java, kota yang pernah dijadikan tempat konperensi Asia-Afrika dan Sidang Konstituante yang menoreh sejarah hingga akhirnya harus keluar dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945.....(STOP ah !!! ). Yang jelas desaku merupakan salah satu desa dari 5.778 desa/kelurahan di Jawa Barat.

Dari kota Bandung ke desaku masih harus menempuh perjalanan jauh sekitar 270an km ke arah tenggara melalui jalan yang berkelok-kelok, membelah gunung menyebrangi sungai (tapi jalannya hotmix lho..) dan sampailah di Ibu Kota Kabupaten yang terkenal sebagai kota yang paling MANIS diseantareo kota. Ciamis, ya......Ciamisku. Desaku adalah salah satu dari 341 desa/kelurahan di Kabupaten Ciamis.

He..he..he.. puter-puter ke Ciamis segala. Padahal untuk menuju desaku bisa tanpa ke Ibu Kota Kabupaten (Ciamis) dulu. Simpelnya menuju desaku adalah Bandung - Cicalengka - Nagreg - Ciawi - belok kiri kearah Panjalu, 7 km dari Ciawi pasti sampai di DESA PANUMBANGAN. Kalau kebablasan dari Ciawi karena ketiduran dan baru bangun di, Rajapolah, tinggal belok kiri saja menuju Cihaurbeuti. Hati-hati di Cihaurbeuti belok kiri lagi, sebab kalau ke arah kanan pasti sampai di Ciamis lewat Sindangkasih. Ambil jurusan Panjalu dan 11 km sebelum obyek Wisata Pegunungan Situ Lengkong disanalah DESAKU TERCINTA PANUMBANGAN.

Ha... ha... ha... yang membaca puyeng.... sama dengan yang bikin posting juga lagi Lieuuuuur..