Prolog : Harus kami akui, Pembantuku itu ternyata telah menjadi guru bagi keluarga kami. Ia memberikan pelajaran hidup bagaimana seharusnya bertindak saat sedang dalam kelapangan untuk menghadapi kemungkinan kesulitan dikemudian hari.
Potret ekonomi Indonesia dimasa Aku kecil
Sekitar empat tahun setelah Pemilihan Umum 1955, hegemoni politik dalam negeri terasa sangat tajam dan cenderung keras. Partai Politik yang tumbuh subur bagai jamur dimusim hujan dalam suasana sistim multi partai, selain berlomba menarik pengaruh massa, juga berupaya sedemikian rupa menyusupkan pengaruhnya kedalam berbagai kekuasaan pemerintahan. Kabinet yang dibangun dalam sistim parlementer ternyata kerap dijatuhkan sebelum bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Lembaga pembuat Undang Undang Dasar (konstituante) bersidang berlarut-larut menghabiskan uang rakyat hanya untuk mempertahankan prinsif sendiri, sehingga ahirnya gagal menetapkan hukum dasar baru dan kemudian dibubarkan tanpa suatu produk yang dihasilkan. Amanat “founding fathers” diawal pembentukan negara, (salah satunya) untuk tujuan “menciptakan kesejahteraan umum” telah dijalankan jauh melenceng karena kondisi keartaian Indonesia saat itu. Akibatnya, kondisi yang tercipta malah “kesengsaraan umum”. Orientasi pejabat di berbagai departemen tidak lagi diarahkan kepada bagaimana tercukupi kebutuhan pokok rakyat, tapi lebih mengutamakan dan memperluas kekuasaan politik dari partainya.
Memasuki tahun 1960, ekonomi Indonesia makin kacau. Umumnya kehidupan rakyat sangat sulit. Beras sebagai bahan pokok, selain harga melambung tinggi, nyaris hilang dari perdaran pasar. Indonesia sebagai negara agraris dengan pesawahan yang terhampar luas, tapi hasil panen dari petani entah kemana larinya. Banyak rakyat terpaksa beralih makanan pokok menjadi “singkong dan ubi”, “oyek” atau “tiwul”. Malah rakyat dipinggiran, terpaksa kesehariannya melalap “eceng gondok”. Penyakit “busung lapar” adalah potret tragis keadaan anak-anak Indonesia saat itu.
Kedua orang tuaku pegawai negeri, ibuku seorang guru dan ayahku seorang polisi. Pembagian beras yang biasa ibu terima dari kantornya dihentikan dan gantinya tunjangan beras berupa uang. Tentunya perhitungan harga untuk tunjangan yang ditetapkan pemerintah jauh dibawah harga pasar. Perbedaannya mencapai tiga atau empat kali lipat. Tunjang beras yang diterima ibu untuk empat jiwa sebanyak 40 kg, jika dibelikan beras dipasar jumlahnya hanya mendapat 10 kg saja. Sedangkan pembagian beras dari kantor ayahku diganti pula oleh “bulgur” dan “jagung” .
Potret rumahku dimasa kecilku
Bagaimanapun keadaan ekonomi saat itu, orang tuaku selalu berusaha agar kami semua tetap bisa makan nasi. Pembagian bulgur atau jagung dari kantor ayahku, oleh ibu sebagian besar dijual dan ditukarkan dengan beras walaupun jumlahnya menjadi sedikit. Sedangkan untuk menambahnya, mungkin ibu membeli beras itu dengan uang tunai. Yang aku ingat, barangkali saat itu ibu mengambil langkah penghematan. Cukup atau tidak cukup, ibu hanya menyiapkan 20 kg beras untuk satu bulan. Anggota keluarga yang ada saat itu sebanyak tujuh orang. Kedua orang tuaku, tiga orang saudaraku dan seorang pembantu. Saudara-saudaraku terdiri dari seorang kakak dan dua orang adikku. Seorang adik kira-kira berumur tiga tahun dan seorang lagi masih bayi. Jadi pratisnya, yang mengkonsumsi nasi tiap hari hanya enam orang, karena adikku yang masih bayi hanya memerlukan susu.
Kami mengkonsumsi nasi sehari dua kali. Pada makan pagi dan makan malam saja, sedangkan makan siang hanya mendapat berbagai makanan tambahan. Tapi makanan yang kami dapatkan pada siang hari senantiasa mengundang selera dan lezat. Tentunya nilai gizinya juga jangan diragukan lagi. Walaupun kesehariannya ibu meninggalkan rumah karena harus mengajar – dan kami anak-anak baru bisa berkumpul dengan kedua orang tua pada malam hari – tapi ibu kelihatannya terampil dalam mengurus rumah tangga. Pada pagi hari sebelum pergi kerja, ibu sudah memberikan arahan kepada pembantu tentang makanan tambahan apa yang harus diolah untuk siang hari. Pembantuku juga kelihatannya sebagai anak didik ibu yang paling cerdik. Sebagai seorang guru di kelas, ibu harusnya lebih bangga mempunyai anak didik yang cepat tanggap seperti pembantuku dirumah. Kalau untuk menyiapkan makanan tambahan untuk siang hari, ada-ada saja yang diolah pembantuku. Makanannya enak dipandang dengan aroma mengundang selera serta lezat setelah dicicipi. Jagung atau bulgur sisa pembagian dari ayahku yang tidak dijual ibu, dibuat bubur manis atau “sarikaya” jagung. Kerap juga ia membuat “papais jagung” atau bubur kacang ijo atau “seupan cau nangka” panganan paporit kami.
Dengan pengetatan makan nasi seperti yang dialami aku dan kelaurgaku pada saat itu, sepertinya waktu sekarang merupakan hal yang jarang terjadi. Tapi saat itu kami masih bersyukur masih bisa menemukan nasi walaupun hanya dua kali sehari. Umumnya rakyat saat itu, menemukan nasi sehari sekalipun belum tentu. Kesulitan ekonomi saat itu ternyata telah diolah sedemikian rupa oleh tangan ibuku seorang guru dan sekaligus pula seorang manager rumah tangga yang cekatan hingga mampu meminij keadaan hingga kami tidak kelaparan. Tapi aku merasa ada sesuatu pihak yang tidak kalah canggihnya dibalik keberhasilan ibu. Sebagai asisten ibu yang taktis dan melaksanakan langsung dalam mengolah rumah karena sepanjang hari ibu sendiri meninggalkan kami untuk dinas. Ia adalah pembantu rumah tangga kami.
Potret Pembantuku,
Aku tidak ingat lagi sejak kapan pembantuku mulai bekerja di rumahku. Yang aku ingat, ketika umurku lima atau enam tahun, ia sudah berada di rumahku. Ia sangat dekat dengan kami, aku dan kakak serta adik-adikku. Orang tua kami, kedua-duanya bekerja sebagai pegawai negeri yang sejak setengah tujuh pagi hingga jam dua siang, mereka meninggalkan kami di rumah. Pulang kerja pada sore hari, langsung istirahat tidak sempat berkumpul lagi dengan anak-anak. Baru setelah shalat isya kami bisa berkumpul bersama hanya untuk beberapa jam saja. Setelah itu, jam Sembilan atau jam sepuluh malam, semua sudah istirahat tidur dan berkkumpul lagi malam berikutnya. Pada saat itu belum ada pesawat televisi, karena station TVRI saja baru didirikan tahun 1962. Oleh karena itu, pada malam hari kami tidak biasa nongkrong di depan kaca TV menonton berbagai program yang disajikan.
Sehubungan kesibukan orang tuaku, tidak heran kalau semua anak-anak sangat dekat dengan pembantu itu. Hari-hari lebih lama bersama dia dibandingkan dengan orang tua kami yang sibuk. Dia sangat telaten mengurus kami. Mulai dari menyiapkan makan dan memandikan anak-anak sampai mengurus adiku yang masih bayi. Malah dia juga sering mendongengkan berbagai cerita pengantar tidur bagi kami.
Menurut cerita ibu, katanya “Si Bibi” (panggilan akrab kepada pembantu kami itu) berasal jauh dari suatu daerah pegunungan. Ia sudah tidak mempunyai sanak-saudara lagi, karena seluruh keluarganya terbunuh oleh gerombolan DI/TII waktu mengadakan serangan ke desanya. Ia pertama-tama menjadi pembantunya nenek, kemudian setelah ibu berumah tangga ikut bersama ibu.
Ia diurus nenekku sejak usianya Sembilan tahun, sehingga kami sudah memandangnya sebagai saudara. Pada saat itu aku berumur tujuh tahun dan si Bibi sudah berumur enam belas tahun. Dengan demikian bisa dipastikan, pertama kali si bibi dibawa oleh nenekku adalah saat-saat ibu melahirkan aku. Dengan demikian tidak serta merta ibu mulai berumah tangga, si bibi ikut bersama ibu. Besar kemungkinan, ketika ibu melahirkan aku sebagai anak kedua, kakakku masih berusia dua tahun, sehingga setelah ibu habis masa cuti melahirkan harus menjalankan tugas mengajar lagi, beliau merasa kerepotan meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil. Saat itulah, barangkali si bibi “direkrut” oleh orang tuaku.
Yang pasti dimasa-masa bayiku, aku lebih lama dalam kehangatan dekapannya. Aku membayangkan, bisa saja ketika aku masih bayi, menangis tidak bisa dihentikan karena ingin menyusu – sementara ibuku belum datang dari istirahat sekolah yang biasa beliau gunakan sebagai kesempatan memberikan Asi – si bibi berusaha menghentikan tangisanku dengan memberikan tetenya untuk “ngarerepeh” aku.
Jarang ditemukan seorang pembantu seperti si bibi. Ia menunjukkan pengabdian total terhadap keluarga kami. Mungkin karena ia sebatangkara sehingga tidak ada tempat mengabdi bagi dirinya kecuali kepada keluarga yang telah mengangkatnya dari penderitaan. Tapi menurutku bukan sekedar itu yang mendorong pegabdiannya. Memang sebelumnya ia telah mempunyai watak dan karakter tanggung-jawab dan jujur dalam menjalankan amanah. Ia tidak berorientasi kepada upah dalam menjalankan pekerjaan. Gaji bulanannya selama bertahun-tahun sengaja tidak ia ambil. Gajinya ditabungkan di Ibu, katanya untuk bekal jika ia nikah dan berumah tangga kelak.
Pelajaran Yang diberikan Si Bibi
Banyak hal yang unik dari sikap dan prilaku si bibi yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kami. Dalam masalah “perdapuran” kunci strateginya ada di bibi. Ibu mempercayakan penuh kepadanya tentang apa yang menjadi hidangan hari itu. Ibu cukup memberikan uang belanja harian kepadanya. Anehnya, tiap hari kami semua menyantap makanan yang bergizi dan bermutu tapi bukan makanan belanjaan dari pasar. Bibi pandai memanfaatkan lingkungan dan mengolahnya menjadi makanan yang baik bagi kami. Sebagai contoh, suatu hari bibi pernah mengajakku pergi ke kolam milik nenekku. Ia bukan menangkap ikan yang besar yang ditanam kakek, tapi ia malah menangkap ikan-ikan kecil seperti “burayak” atau “lauk sarebu” atau kami menyebutnya “impun”. Setelah mendapat ikan impun seember penuh, baru si bibi pulang kerumah dan memasak ikan itu. Ternyata “pepes impun” yang ia buat menjadi santapan yang paling laku di keluarga ku. Atau si bibi pernah juga seharian pergi kesawah. Berpayah-payah memungut kerang sawah “kijiing “ dan “tutut” seharian. Ternyata “angeun tutut” dan “goreng kijing” menjadi lauk-pauk makan yang (sebenarnya) sangat berguna bagi pertumbuhan kami. Alhamdulillah, ditengah sulitnya situasi ekonomi saat itu, ditengah orang lain kekurangan makanan, gizi anak-anak sangat buruk , penyakit “busung lapar“ mewabah dikalangan anak-anak sebayaku, tapi berkat keterampilan dan kecerdikan si bibi, aku dan saudaraku malah berbadan gempal (gondolo-sunda) dan sehat.
Bukan sekedar itu sikap terpujinya si bibi. Ia suka memberikan kejutan menghidangkan makanan istimewa setiap hari minggu. Ia sengaja belanja besar-besaran ke pasar, padahal ibu sendiri memberikan uang belanja harian seperti hari-hari biasa. Lantas darimana si bibi punya uang gede untuk belanja itu? Ia memasak opor ayam dan berbagai macam hidangan tersedia di meja makan. Ternyata….. uang belanja yang diberikan ibu setiap hari itu hanya dibelikan bumbu-bumbu saja dan selebihnya disimpan serta dibelanjakan makanan setiap minggu atau tetap disimpan untuk berjaga-jaga kalau ahir bulan ibu sudah sisip uang. Untuk menu harian, bibi cukup dengan kecerdikannya memanfaatkan lingkungan yang ada. BUKAN MAIN HEBATNYA PEMBANTUKU ITU.
Ada yang hebat lagi dari cara pengelolaan yang dilakukan si bibi. Malah cara yang ditempuh si bibi itu berkesan panjang dihati Ibu khususnya dan keluarga kami umumnya. Dalam masa kesulitan, ternyata strategi kedapuran yang dijalankan si bibi sebagai penyelamat keluarga kami. Suatu waktu, persediaan beras di rumah benar-benar sudah habis. Ibu sudah berupaya untuk beli ke pasar tapi ternyata di pasarpun tidak ada. Kata pedagang beras, stok baru ada bulan depan. Ibu jadi panik, malah ayah pun ikut terhanyut dan keluarlah kemarahan seorang polisinya: Wah…. ini pasti ada kejahatan PENIMBUNAN di pasar agar harga beras makin tinggi!!
Di tengah-tengah kepanikan keluarga, tiba-tiba si bibi dengan tenang menghampiri ibu dan berkata bahwa ia masih menyimpan beras tiga blek yang tentu cukup untuk kami makan satu bulan kedepan. Ternyata si bibi, setiap akan membersihan beras untuk ditanak (ngisikan) sebelumnya selalu menyisihkan tiga atau empat sendok beras dan disimpan didalam blek itu. Subhanallah, ternyata keadaan kekurangan beras seperti itu - keadaan yang luput dari perhitungan ibu – ternyata sudah jauh terpikirkan oleh sang pembantu walaupun tidak mengenyam pendidikan tinggi. Harus kami akui, Pembantuku itu ternyata telah menjadi guru bagi keluarga kami. Ia memberikan pelajaran hidup bagaimana seharusnya bertindak saat sedang dalam kelapangan untuk menghadapi kemungkinan kesulitan dikemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar