“Sakola Panjang”. Itulah nama yang dipakai umum untuk sekolah yang pertama aku masuki. Sekolah tingkat dasar yang mempunyai nama resmi Sekolah Rakyat Satu (SR I) Panumbangan. Pada saat aku mulai masuk sekolah, untuk sekolah tingkat dasar masih digunakan istilah sekolah rakyat, dan baru setelah aku duduk dikelas empat, papan nama sekolah diganti menjadi bertuliskan SEKOLAH DASAR PANUMBANGAN I. Oleh karena itu, dalam izasah pertamaku sudah mencantumkan istilah Sekolah Dasar.
Di desaku saat itu terdapat tiga buah sekolah dasar. Pertama sekolahku sebagai sekolah paling tua dan pertama ada, kemudian SD II terdapat di Cibeureum (sekarang desa Tanjungmulya) dan terahir SD III terdapat di “Tanjakan” (sebelah Mapolsek sekarang).
Entah sejak kapan sekolahku mulai terkenal dengan sebutan “Sakola Panjang”. Sangat sulit menelusurinya karena sekolah itu sudah berjalan sangat lama dan berusia tua. Mungkin satu abad sebelum aku sekolah disana, bangunan itu sudah berdiri. Katanya, bangunan itu dulunya bekas Vervolig School zaman Hindia Belanda. Namun bisa dipastikan, terkenalnya dengan sebutan sakola panjang karena memang sekolah itu hanya mempunyai satu-satunya bangunan dengan bentuknya “panjang”, memanjang dari Barat ke Timur sekitar 80 sampai 90 meter.
Bangunan sekolah yang memanjang itu dibagi enam ruangan kelas. Tiap-tiap ruangan mempunyai ukuran yang luas. Sepertinya tidak akan kurang dari 15 x 7 meter tiap kelasnya. Bangunannya sangat kokoh dan hampir semua bagian terbuat dari kayu jati. Dinding bangunan terbuat dari “bilik” seperti dibuat khusus, karena berbeda dengan bilik-bilik yang ada saat itu. Bilik disekolahku mempunyai anyaman tebal dan besar serta kuat karena dibuat hanya dari bagian kulit bambu yang keras. Antara ruangan kelas yang satu dengan yang lainnya disekat oleh bilik juga, tapi bisa dibuka-pasang. Jika semua penyekat ruangan dibuka, maka sekolah menjadi satu ruang panjang terbuka. Biasanya jika ada hari kenaikan kelas atau kami menyebutnya “Samen”, semua penyekat ruangan dibuka. Atau juga jika ada pertemuan atau rapat yang menampung banyak orang.
Meja belajar bagi murid dibuat khusus. Kokoh dan kuat terbuat dari kayu jati tebal. Bentuknya memanjang menyatu dengan kursinya . Tiap-tiap kursi bisa diduduki sekitar enam sampai delapan murid. Tapi bisa juga diduduki sampai sepuluh orang walaupun harus duduk berdesakan (pagegeye). Permukaan meja tidak rata air seperti umumnya meja tulis sekarang, tapi lebih mirip meja gambarnya para arsitek. Bagian depan meja didesain sedemikian rupa lebih tinggi dibandingkan bagian belakangnya. Mungkin maksudnya agar murid ketika membaca tidak usah mengangkat buku untuk memperjelas penglihatan. Tapi ada kelemahannya, jika murid menaruh pensil atau barang diatas permukaan meja, akan meluncur dan jatuh kebawah. Didalam kelas, murid harus selalu “tangan sidakep” diatas meja. Jika tiba-tiba murid membungkuk untuk mengambil pensil yang jatuh dibawah meja, sang guru akan marah dan menghadiahi satu pukulan stik kayu (alat penunjuk) kepada si murid.
Kata Samen sebagai suatu istilah untuk menunjuk pada pesta kenaikan kelas, sepertinya bukan asli bahasa sunda. Istilah tersebut mungkin saja diangkat dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan kata “samen” yang artinya bersama. Mungkin karena pada pesta kenaikan kelas, semua guru dan orang tua serta seluruh murid “berkumpul bersama” mengikuti acara, maka dikenallah sebutan samen atau samenan.
Dalam acara samenan bukan sekedar berkumpul bersama, tapi juga dipertunjukkan berbagai hiburan dari murid-murid, selanjutnya diadakan pengumuman kenaikan kelas dari mulai kelas satu sampai kelas enam. Dalam pengumuman itu sekaligus disebutkan penomoran ranking masing-masing murid. Pertama disebut adalah murid yang mempunyai ranking besar “panyocok” dan seterusnya satu demi satu sampai kepada murid yang mendapat ranking pertama. Pengumuman itu dilakukan secara terbuka karena disampaikan melalui corong pengeras suara. Dalam hal ini, murid yang naik kelas atau tidak serta yang mendapat ranking kecil atau besar akan diketahui secara luas. Akibatnya, murid yang mendapat ranking besar apalagi terahir menjadi bahan ejekan teman-temannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Ejekan “Si Panyocok Lodong” akan menjadi tekanan jiwa bagi murid yang menduduki ranking paling besar di kelasnya.
Dalam menghadapi samenan bagi anak sekolah saat itu seperti menghadapi Hari Raya Idul Fitri. Baju dan sepatu baru biasa diadakan atau terpaksa diadakan. Orang tua yang tidak mampu pun memaksakan diri berbuat semampunya untuk mendandani anaknya agar “ginding”. Kalau punya ternak kambing atau ayam seekorpun dijual sekedar untuk membeli pakaian anaknya. Samen adalah momen yang membuat “ginding, rapih dan bersih” bagi murid-murid. Oleh karena itu apabila kakakku atau aku belum mandi dan kelihatan sehari-harinya kotor dan bau atau tidak bersih dan tidak rapih, ibu lazim memberi celaan kepada anak-anaknya: “teu nyamen pisan anak-anakku ini”.
Ibu mempunyai dua orang anak di sekolah yang sama, yaitu kakak ku dan aku. Kami terpaut usia dua tahun dan sekolah pun berbeda dua tingkat. Ketika aku masuk kelas satu sekolah dasar, kakak ku sudah menduduki kelas tiga. Ruang kelas nya terhalang satu kelas. Kelasku berada paling ujung sebelah timur sedangkan kelas kakak ku diruangan ketiganya. Namun tiap ruangan kelas bisa terhubung satu dengan lainnya melalui pintu penyekat ruangan yang langsung bisa tembus ke ruangan kelas enam. Kelasku tidak menggunakan seluruh ruangan yang ada, tapi setengah bagian disekat oleh lemari-lemari buku membentuk formasi ruangan tersendiri untuk para guru dan kepala sekolah.
Ada kebiasaan nakal murid laki-laki di tiap kelas yang tidak patut ditiru. Kalau jam istirahat atau pada jam pelajaran tidak ada guru didua kelas yang berdampingan, kami sering adu kekuatan dengan saling dorong pintu penyekat yang bisa terbuka kedua arah. Jika pintu dapat didorong kearah kelas lain maka mereka yang mendesak dinyatakan sebagai pemenang. Dalam hal ini, tentu saja faktor kekuatan tenaga dan jumlah personal yang menentukan. Teman-teman sekelasku biasanya bertarung dengan kelas dua yang berada disebelah kelasku. Murid laki-laki kelas dua umumnya berbadan lebih besar dan lebih kuat dari pada teman-teman sekelasku yang masih duduk di kelas satu. Namun ada dua orang temanku yang berbadan besar. Mereka murid senior karena tidak naik ke kelas dua, alias “ngendog” di kelas satu. Mereka itulah yang menjadi “jeger” di kelasku. Mereka itulah yang sering pegang inisiatif menantang kelas dua untuk “adu pintu”. Sepertinya mereka berdua dendam kepada bekas teman sekelasnya dulu. Apapun yang dilakukan murid kelas dua, mereka berdua selalu menjadi pihak oposan dan menjadi provokator agar teman sekelasnya berantem. Sayang nya mereka berdua tidak mencari simpatik dari teman sekelasnya yang baru. Malah mereka sering “malak uang” kepada teman sekelasnya jika jajan di warung. Jika tidak dikasih, tinjunya akan berbicara. Jika mereka takut oleh guru untuk bertindak di lingkungan sekolah, ancaman kekerasan saat pulang sekolah pun sering mereka hamburkan melalui ucapanya yang kotor. Oleh karena itu mereka tidak disenangi dan dijauhi oleh teman sekelasnya. Anehnya mereka tidak berani malak padaku. Barangkali ada tiga hal yang membuat mereka “miris”. Pertama karena ibuku seorang guru dan kesehariannya ada di Sekolah. Kedua karena ayahku seorang polisi, pikirnya : “jika macam-macam kepadaku akan diseret ke Kantor polisi”. Dan ketiga, karena aku mempunyai kakak yang duduk di kelas tiga, atau saudara sepupuku (anak uwak dan paman) banyak yang duduk di kelas empat sampai kelas enam.
Seharusnya ketiga faktor itu tidak dijadikan alasan mereka untuk dekat denganku. Tanpa dipalak pun aku sering mengajak mereka jajan bersama. Kebetulan uang saku yang diberikan orang tuaku diatas rata-rata saat itu. Tiap kami (aku dan kakak ku) pergi sekolah dibekali uang satu rupiah. Untuk jajan bertiga dengan uang lima ketip pun sudah membuat kami kenyang. Ada ketentuan tidak tertulis jika aku mentraktir jajan kepada mereka. Satu talen untuk jajanku dan satu talen untuk jajan mereka berdua.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar